Din Syamsuddin : Antara Khilafah Modern dan Vatikan
portalreligi - Jakarta : Khilafah adalah
salah satu ajaran sentral Islam yg bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadits (maka
seorang Muslim tidak boleh menafikannya).
Bahwa manusia adalah khalifah/wakil Tuhan di
muka bumi (khalifatullah fil ardh) luas disepakati oleh ulama pramodern dan
modern.
Hal ini membawa pemahaman bahwa misi keilahian
manusia adalah membangun bumi, mengembangkan peradaban dunia utk kemaslahatan
kemanusiaan. Konsep "khilafatullah fil ardh/kekuasaan Tuhan di bumi (God's
Vicegerency on Earth)" bisa dibandingkan dgn konsep Kristiani ttg
"Kerajaan Tuhan" (Christendom).
Bahwa khilafah dipahami sebagai
"kekuasaan politik/political authority" atau "lembaga
politik-pemerintahan/political institution" tidak menjadi kesepakatan
ulama; hanya beberapa ulama yang berpendapat demikian seperti Rasyid Ridha (w.
1935), Abul Kalam Azad (w. 1958), dan An-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, (w.
1977).
Mereka menginginkan Sistem Khilafah didirikan
kembali sejak pembubaran Kekhalifahan Utsmany oleh Kemal Ataturk di Istanbul
pada 1924.
Pendirian Khilafah sebagai lembaga dan sistem
politik sudah lama dikritik termasuk oleh Ibnu Khaldun (w. 1406), Abduh (w.
1905), dan Ali Abd Raziq (w. 1960), bahwa khilafat historis yang pernah ada
setelah masa Khulafaur Rasyidun adalah sesungguhnya kerajaan, dan Islam tidak
membawa konsep tentang bentuk/sistem
pemerintahan tertentu.
Maka tidak ada kewajiban mendirikan khilafah
sebagai lembaga politik-kekuasaan.
Jika konsep khilafah Hizbut Tahrir dimaksud
sebagai lembaga politik-kekuasaan, maka itu bukan merupakan kesepakatan jumhur
ulama.
Pendirian khilafah sebagai lembaga
politik-kekuasaan pada era modern adalah tidak valid dan realistik, karena
negara-negara Muslim sudah terbentuk sbg negara-bangsa (nation-state) dalam
bentuk/sistem pemerintahan yg beragam.
Negara Pancasila adalah kesepakatan bangsa
Indonesia (Muktamar Muhammadiyah Tahun 2015 menegaskan Negara Pancasila sebagai
Darul Ahdi was Syahadah atau Negara Kesepakatan dan Kesaksian).
Dokumen itu berasal dari pidato saya pada 1
Juni 2012 di MPR-RI dengan tajuk serupa. Maka, seluruh komponen bangsa harus
menegakkannya, dan terhadap segala bentuk penyimpangan dan pelanggaran terhadap
Pancasila harus diluruskan.
Dalam hal ini, terdapat banyak bentuk
penyimpangan , baik yang bersifat keagamaan seperti khilafah politik, maupun
isme-isme lain seperti komunisme, sekularisme, liberalisme, kapitalisme, dan
berbagai bentuk ekstrimisme lainnya.
Khilafah sebagai ajaran Islam yang mulia tidak
boleh dinafikan khususnya oleh umat Islam. Maka diperlukan penafsiran baru yang
kontekstual terhadap khilafah, khususnya dalam konteks NKRI yang berdasarkan
Pancasila:
a. Khilafah dapat dipahami membawa pesan
kesatuan, persatuan, dan kebersamaan umat Islam secara nasional, maka di
Indonesia dapat dan telah mengambil bentuk Majelis Ulama Indonesia/MUI yang
dapat berfungsi sebagai organisasi payung atau tenda besar bagi seluruh umat
Islam.
b. Secara global, khilafah sudah mengambil
bentuk, pada tingkat pemerintahan, Organisasi Kerjasama Islam/OKI, dan pada
tingkat umat, Liga Muslim Sedunia (Rabithah 'Alam Islamy).
c. Pada kedua manifestasi khilafah tsb, dengan
esensi persatuan keumatan/ukhuwah Islamiyah, tidak boleh mengingkari, mengubah,
atau mengganti sistem politik dan pemerintahan yg ada, yakni Negara Pancasila.
Dalam latar pemikiran di atas saya memahami
(dan sering dibicarakan pada fora internasional) bahwa konsep khilafah yang
bersifat mondial dapat diwujudkan dalam bentuk persatuan dan kebersamaan umat Islam
dalam kemajemukan warna kulit, bahasa dan budaya yang mencerminkan kesatuan
visi kehidupan/peradaban global berdasarkan nilai-nilai Islam.
Dalam hal ini, konsep khilafah dapat
diterapkan dalam bentuk adanya lembaga mondial yg mempersatukan seluruh umat
Islam, seperti Vatikan mempersatukan umat Katholik sedunia.
Umat Katholik di negara mana pun sangat tunduk
dan patuh kpd Vatikan, tanpa mengabaikan sistem nasional masing-masing bangsa.
Saya mengusulkan kpd umat Islam termasuk kepada Hizbut Tahrir utk mentransformasi
"khilafah 'alamiyah" mereka ke dalam bentuk seperti Vatikan.
Dalam pemahaman saya, dalam interaksi aktif
dengan Vatikan beberapa tahun terakhir ini, Vatikan adalah lembaga sangat
berpengaruh, baik dalam urusan keagamaan maupun non keagamaan, termasuk
ekonomi, politik, dan budaya.
Memang Vatikan memisahkan antara agama dan
politik, tapi Vatikan "berfungsi dan diperlakukan sebagai negara".
Buktinya, ada Kedutaan Besar Takhta Suci di
banyak negara termasuk Indonesia, dan ada Kedutaan Besar banyak negara termasuk
Indonesia di Vatikan (kebetulan saya sering berkunjung ke sana).
Kedutaaan-kedutaan itu mengurusi
masalah-masalah bilateral baik keagamaan, maupun politik, ekonomi, dan budaya.
Vatikan juga terlibat dalam banyak masalah peradaban, seperti konflik,
kemiskinan, pengungsi, dan SDGs.
Saya sering hadir di Vatikan dan bertemu Paus
Benediktus XVI dan Paus Fransiscus dalam fora interfaith dialogue tentang
masalah yang lebih luas dari isu-isu keagamaan sempit, seperti terakhir tentang
climate change and global warming (bahkan menjadi anggota Grup Ethics in Action
untuk environment di bawah kendali Pointifical Academy of Science).
Saya berpedapat, bagi umat Islam yang ingin
membentuk khilafah mondial dapat meniru Vatikan dengan mentransformasi konsep
khilafah ke dalam suatu lembaga mondial tanpa menegasi sistem nasional
masing-masing negara (walau tidak semua Muslim mau bergabung).
Saya pribadi melihat bahwa hal itu tidak mudah
karena watak umat Islam, khususnya Sunni, kurang bersifat faternalistik dan
sentralistik, serta otonomi/egoisme masing-masing-masing bangsa bahkan
organisasi sangat kuat.
Namun, semangat Kekatholikan atau Budaya
Vatikan yang mampu merajut kesatuan, persatuan, dan kebersamaan bagus ditiru.
Mungkin, kekhalifah- Islamiyahan baru memerlukan "unifying, moderating,
and mediating force" seperti itu.
Mungkin itu solusi terhadap masalah hubungan
khilafah dan Negara Pancasila; khilafah tidak diabaikan tapi Negara Pancasila
tetap ditegakkan. Dan sedari dulu, bagi umat Islam, integrasi wawasan keagamaan
dan wawasan keindonesiaan sudah melekat.
* Din Syamsuddin: Ketua Dewan Pertimbangan MUI
dan Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
Sumber :
http://www.tribunnews.com
Editor: Hasanudin Aco
0 komentar: